Sabtu, 20 Mei 2023

Wiji Thukul Tidak Hilang, Dia di Terminal Bratang

Wiji Thukul Tidak Hilang, Dia di Terminal Bratang

Terminal Bratang masih sama. Menjadi tempat bagi orang-orang yang mencari kesejukan di tengah panasnya bumi siang hari. Entah kenapa, Surabaya seperti semakin dekat saja dengan matahari. 

Sopir angkot dan tukang becak berkumpul dengan muka lesu dalam balutan pakaian lusuh. Munculnya aplikasi-aplikasi transportasi online membuat mereka berada pada posisi dilema. Bertahan atau pindah profesi. 

Sementara itu, jalan raya selalu penuh sesak dengan bunyi klakson mobil orang-orang kaya yang dengan klaim pajak lebih besar membuat mereka pongah seolah jalan milik pribadi.

Dari kejauhan terdengar seorang pengamen bernyanyi melantunkan lagu Ujung Aspal Pondok Gede punya Iwan Fals. 

Siapa yang peduli? Anak-anak muda dalam bus jurusan Bratang-Bungurasih lebih asyik dengan dunianya sendiri. Suka tersenyum dan bertingkah macam orang gila sambil memandangi gawai dalam genggaman.

Meski begitu, pengamen itu tetap bernyanyi menghibur mereka yang tengah gundah gulana. Para sopir sepertinya lebih memaknai lagu itu dari pada anak-anak muda di sana.

Di depan terminal, tukang-tukang becak sibuk dengan mimpi-mimpi indah dalam tidur mereka. Tidak ada penumpang meski mereka sudah menawarkan jasa antar paling mudah untuk dipakai.

Becak seperti pasar tradisional, sebagus apa pun sayuran atau buah yang dijual masih bisa kita tawar untuk sesuatu disebut musyawarah ala pedagang. Tetapi, cerita mereka hanya sebatas itu saja. 

Awan bahkan lebih peka dengan kondisi mereka. Menghalau sinar matahari sambil sesekali berharap hari cepat berlalu dan kantong celana mereka terisi penuh untuk dibawa pulang kepada istri anak di rumah.

Jujur, aku muak melihat pemandangan yang sama setiap hari. Keresahan demi keresahan muncul begitu saja membuat kepala pusing bukan kepalang.

Tidak heran jika engkau akan selalu menemukan makin banyak orang duduk berjejer di warung kopi saat mampir ke Terminal Bratang. Jika pusing, ngopi. Mikir cicilan, ngopi.

Saat sedang menikmati kopi, aku mendengar seorang sedang bercerita. Namanya Wiji Thukul. Banyak orang mendengarkannya dengan seksama dan fokus.

“Jujur mas, aku lelah berpuisi apa lagi berkata-kata setelah pemutaran Istirahatlah Kata-kata itu dipertontonkan kepada anak-anak kita” ucap Wiji Thukul sambil merapikan rambutnya yang sudah panjang hingga sebahu.

“Tidak apa-apa mereka memutar film itu untuk mengenang aku yang begini adanya. Tapi kalian orang Jawa Timur harus selalu ingat, Syiah Sampang, Marsinah, Munir hingga Lapindo adalah petaka besar Pulau Jawa yang tidak kalian protes. Untuk apa mengetahui kisah-kisah saya? Jika kalian tidak paham sejarah perjuangan Hak Asasi Manusia yang harus mengorbankan nyawa kawan saya, Cak Munir itu” lanjutnya.

“Ya opo cak? Sampean iku sing bertugas ngajari kami wong cilik iki terkait HAM atau apalah begitu” celetuk seseorang orang diantara mereka.

“Begini cak, pada hakekatnya manusia harus mengetahui hak asasi manusia karena ia manusia. Paham? Ok gini wes, aku ora baca puisi hari ini nang kene. Aku mau jelaskan kepada kalian semua sejarah HAM yang kata orang pintar disebut sebuah utopia” kata Wiji Thukul sambil memesan Nutrisari dingin.

Aku terpana melihat penjaga warung itu. Ia cantik dan anggun. Keuletannya memecahkan telur, menggoreng hingga menyajikannya bersama serangkaian pelengkap nasi penyet itu membuatnya sangat istimewa. 

Sudahlah, biarkan aku saja yang menikmati itu. Akan saya ceritakan nanti selepas aku membicarakan pertemuan tak terduga dengan Wiji Thukul si anak hilang yang tengah berkotbah untuk kaum-kaum papa Terminal Bratang siang itu. Tenang saja.

“Kalian itu pesanlah dulu kopi pada Mbak Ayu, materi ini akan berat untuk dicerna” kata Wiji memberi kode hendak mentraktir mereka. 

Beberapa dari mereka dengan cekatan memesan kopi. Sementara Wiji Thukul mengambil beberapa gorengan sebagai pelengkap kopi yang sudah dipesannya barusan.

Ia kemudian mulai bercerita panjang lebar mengenai sejarah HAM dan mengapa harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh secara kolektif.

“Sampean iku arek kampus endi Kul? Anakku sing kuliah aja gak pernah cerita macam engkau ini” tanya seorang tukang becak yang terpana dengan penjelasan Wiji Thukul

“Hahaha, sampean iku ojo lali mas, anakmu itu telah mas beri handphone. Jangankan baca buku, mereka lebih suka duduk menunduk melihat propaganda teknologi yang menjajah kita sekarang ini” ujarnya.

“Terus, piye Kul?” tanyanya lagi

“Jangan marahi mereka mas, mereka gak pernah salah. Mereka hanya keliru melihat apa yang mereka lihat. Mereka hanya berpura-pura tidak mendengar untuk apa yang mereka dengar dengan jelas. Jadi apa mas? Jangan sampai kita menjadi manusia tak berdaya melihat tipu daya anak-anak kita. Saya sih Cuma satu mas, anak saya pokoke jangan sampai pakai narkoba. Meski mereka sering nunduk, tapi jangan nunduk kepada narkoba”

“Aduh, berat Kul. Aku iki bagaimana mau memperhatikan anak-anakku, wong cari makan aja susah”

“Hahaha, mas mas jangan patah semangat. Saya betah di terminal ini hanya karena satu hal, sampean dan orang-orang kecil ini selalu berlaku jujur atas segala sesuatu tentang kehidupan yang kalian rasakan”

Semua orang kemudian diam, kecuali Wiji Thukul yang sibuk merenung di balik asap rokok yang tinggi membubung. Bekas luka di pelipis kirinya masih tampak jelas. 

Mereka yang lain sibuk dengan perasaannya masing-masing. Dalam hati aku berpikir keras. Berbicara HAM tidak akan selesai jika masih ada manusia yang belum begitu paham akan aksi perampasan hak-hak dalam dirinya. Seperti orang-orang di lingkaran Wiji Thukul siang itu.

Sebuah teriakan sopir angkot berhuruf ‘N’ menyadarkan aku untuk segera beranjak. Belum sempat aku membayar, sapa mesra Mbak Yu membekas lembut dalam telinga. 

Bayang pelangi jingga di matanya membentuk guratan rindu dalam balutan cerita Wiji Thukul soal HAM. Begitulah cerita tersebut berakhir bersama angin panas Kota Surabaya. 

Bersama bayang semu rindu pada Mbak Yu, rangkaian cerita ini aku tulis dalam ingatan menuju pusat kota tempat segala kemunafikan kehidupan dibentuk rapi dan tertutup rapat. Wiji Thukul ternyata tidak pernah hilang. Dia di Terminal Bratang...

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *