Jumat, 19 Mei 2023

Timi Alat, Fenomena Pembunuhan Karakter Terhadap Perempuan Manggarai

Timi Alat, Fenomena Pembunuhan Karakter Terhadap Perempuan Manggarai
Ilustrasi (Foto: Seru.co.id)

Dalam beberapa kesempatan, saya sering kali merasa terganggu dengan topik obrolan beberapa orang kawan ketika berbicara mengenai perempuan dan segala sesuatu tentang mereka.

Perempuan merupakan salah satu topik paling seksi yang akan dibahas dalam tongkrongan laki-laki selain soal teori konspirasi, debat soal agama hingga pilihan politik.

Biasanya, perbincangan mengenai perempuan akan selalu dimulai dengan konten-konten yang mereka upload di media sosial. Jejak digital itu kemudian dinilai dengan beragam persepsi dan pendapat.

Jika kita sering menyalahkan perempuan karena mereka lebih suka pria good looking atau pria good rekening, para pria sebenarnya jauh lebih parah bobroknya saat menilai seorang wanita.

Boleh dibilang penilaiannya tidak hanya soal apa yang ada di permukaan seperti wajah cantik, warna kulit dan sebagainya. Pria sering menilai perempuan dengan cara menelanjanginya. Bahkan bisa sampai kepada imajinasi bagaimana jika dia ditiduri.

Selama proses menelanjangi itulah muncul sebuah istilah baru yang cukup populer di kalangan masyarakat kita yaitu Timi Alat.

Memahami Istilah Timi Alat

Saya pribadi hingga sekarang, belum menemukan apa definisi, kriteria hingga motif di balik penggunaan istilah Timi Alat yang dilabelkan para seorang perempuan di tengah masyarakat kita.

Oleh karena itu, izinkan saya memaknai istilah Timi Alat dari perspektif sendiri. Artinya, makna lain terkait istilah tersebut bisa diterima tergantung sudut pandang yang dipakai oleh pembaca sekalian.

Sependek pengalaman saya, label Timi Alat itu biasa dipakai untuk mengejek atau membully anak-anak perempuan dengan ciri tertentu. 

Misalnya, siswi bertato, berbadan sexy, suka gonceng tiga (goti), berpayudara besar (ukuran tidak lazim meski itu karena faktor genetik), sering keluar malam, pernah minum moke, perempuan perokok, berdandan berlebihan dan sering bergaul dengan temannya laki-laki.

Dalam penggunaannya, istilah Timi Alat sering diucapkan dengan penilaian lebih dari sekedar ciri fisik seperti yang telah disebutkan di atas. 

Salah satu contoh misalnya, seorang siswi berpayudara besar dicap Timi Alat bukan hanya karena ukurannya tidak lazim dengan anak seumuran dia di sekolah. Tetapi lebih kepada  alasan mengapa payudaranya besar. 

Ilmu biologi dasar tentang alat reproduksi dalam kondisi ini tidak akan dipakai. Subyek yang mengucapkan pelabelan tersebut mengarang ceritanya sendiri soal mengapa payudara si obyek pelabelan itu besar. 

Mereka selalu memakai sebuah teori yang tidak pernah saya temukan selama menjadi anak IPA sewaktu SMA, payudara besar menurut mereka itu disebabkan karena sering "diremas" laki-laki. 

Kita semua akan tahu bahwa ketika teori ini diterima maka cerita yang berkembang selanjutnya adalah kesimpulan dengan tingkat kedangkalan bercita rasa tinggi: payudaranya besar karena diremas laki-laki waktu mereka tidur dan melakukan hubungan suami istri. 

Bah! Biadab betul! Sayangnya, pemahaman semacam inilah yang mereka pakai sebagai fondasi dasar pelabelan Timi Alat kepada seorang anak perempuan berpayudara besar.

Padahal, objeknya itu anak yang baik. Berbanding terbalik dengan apa yang mereka  pikirkan. Soal payudaranya besar itu urusan lain.

Bisa dikarenakan dia sedang mengalami masa pertumbuhan atau pubertas seperti layaknya anak-anak normal lainnya, apalagi usia setingkat SMA dan bisa juga faktor genetika yang diwariskan dalam keluarganya. Harus diteliti dan dipahami dengan baik. Siapa yang peduli?

Pesan Penting

Pembaca mungkin akan menghujat saya karena dinilai mengarang cerita. Mungkin juga melaporkan blog ini ke Dewan Pers akibat dugaan membuat tulisan untuk sekadar kejar rating Alexa yang kemudian mengangangkangi nilai moral dan kemanusiaan yang sudah menjadi bagian dari diri kita selama ini. 

Tidak  masalah, saya siap bertanggungjawab. Karena inilah realita sebenarnya yang saya temukan dalam diri anak-anak sekolah kita. Buruk. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang.

Jujur saja, saya tidak memiliki saudara perempuan kandung. Namun, orang tua kami mendoktrin kami untuk selalu menghargai perempuan bagaimana saja caranya. 

Lebih dari itu, pesan yang ingin saya sampaikan kepada pembaca sekalian terutama orang tua, guru, sekolah, Gereja, pemerintah dan masyarakat mulailah untuk sedikit menaruh kepedulian terhadap anak-anak usia rentan di sekitar kita. Sangat penting memahami perilaku anak agar tidak menyimpang dari norma sosial masyarakat.

Pihak terkait perlu membuka mata atas fenomena yang sudah dianggap lumrah ini, terutama lembaga pendidikan. Jangan sampai pendidikan kita dinilai gagal mereproduksi generasi berkualitas di masa mendatang.


Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *