Sabtu, 20 Mei 2023

Rokok Terakhir Suami Mbok Rondo

Rokok Terakhir Suami Mbok Rondo

Di sebuah warung kecil, Mbok Rondo sedang sibuk menyeduh kopi. Gerakan tangannya lincah. Ia seperti robot yang diprogram untuk membuat kopi otomatis di pojok ruangan.

Meja di sebelahnya cukup mengundang perhatian. Ia baru saja melapisnya dengan sebuah spanduk bekas bergambar wajah calon DPR yang maju lagi pada pemilu berikutnya.

Spanduk itu satu-satunya manfaat yang diterima Mbok Rondo sebagai masyarakat kecil. Ia sudah tidak pernah percaya dengan janji-janji. Dengan spanduk, mejanya yang sudah dimakan rayap bisa ditambal. 

Kopi yang diseduh Mbok Rondo sangat spesial. Itu akan menjadi teman bagi rokok terakhir untuk suaminya yang seorang perokok berat.

Bagi sang suami, rokok adalah cinta. Cinta semata wayang yang tidak akan tergantikan. Ia pernah berpesan, jika nanti ia mati cukup berikan dia sebungkus rokok dan korek api sebagai bekal.

"Apa benar, engkau hendak berhenti merokok?" Tanya Mbok Rondo sangsi akan keputusan suaminya. 

"Apa karena gambar menyeramkan itu?" tanyanya lagi. 

Suaminya melotot, lalu berpaling kepada secangkir kopi dihadapannya: "Bukan, bukan itu. Aku hanya mengatakan ini rokok terakhirku". 

Mbok Rondo memang salah satu orang yang setiap saat mengeluhkan suaminya merokok. Selain karena dianggap merusak kesehatan dan mengganggu ekonomi keluarga, ia juga kesal karena membutuhkan waktu yang lama mencuci payudaranya saat mandi. Ada bercak kuning di sana.

Entah mengapa, ia sangsi akan keputusan suaminya. Ia ingat dahulu mengenal cinta berawal dari sebatang rokok. Meski itu bukan suaminya tetapi ia akan selalu menyimpannya dalam jiwa, seperti lagu Isyana Saraswati yang terkenal itu.

Pada waktu itu, ketika hendak mengunjungi bibinya di Surabaya, Mbok Rondo naik bis dari Banyuwangi. Di sampingnya duduk seorang mahasiswa asal Flores yang baru pulang kampung. Mereka diam mematung, masing-masing mempertahankan egonya.

Mahasiswa itu bingung harus memulai percakapan dengan cara apa agar Mbok Rondo yang sedang mempertahankan martabatnya sebagai perempuan di hadapan penumpang yang penuh sesak itu bicara. 

Diambilnya sebatang rokok dan dibakarnya. Tiba-tiba si Mbok Rondo berkomentar, "Mas rokoknya kebalik". Dari situlah suasana mencari, bak air sungai dari lereng gunung. Mereka bercakap agak lama.

Lelaki itu menceritakan daerahnya dengan antusias termasuk rasa kopi yang nikmatnya melebihi Cokelat Belgia. Ceritanya membuat Mbok Rondo berhasrat untuk berkunjung suatu saat nanti.

Sejak saat itulah ia selalu menantikan pertemuan kedua dengan si mahasiswa. Setiap kali mendengar nama daerah asalnya, ia akan tersenyum dan hatinya berdebar-debar. 

Tetapi, tampaknya ia hanya akan menjadi seorang perempuan gurun seperti yang diceritakan Paulo Choelo dalam novel The Alchemistnya, "Melepas kekasihnya dan memandang gurun setiap waktu dengan penuh harapan bahwa ia akan kembali".

Sekarang kenangan itu hanya masa lalu. Bagi suaminya masa lalu itu seperti asa rokok, dihisap, dihembuskan lalu terbang bersama angin. 

Meski nikotinnya melekat di paru-paru, siapa yang peduli? Dokter pun hanya bisa menakut-nakuti tanpa bisa mengobati.

"Ini memang rokok terakhirku. Bukannya engkau senang karena tidak perlu lagi berlama-lama dikamar mandi membersihkan payu daramu?" Tanya suaminya sambil mengoleskan remah-remah kopi pada rokoknya. 

"Lalu apa alasanmu berhenti merokok?" Tanya Mbok Rondo Memaksa. 

"Aku tidak berhenti merokok. Aku hanya mengatakan ini rokok terakhirku" jawab suaminya. 

"Pantas engkau dianggap bodoh sama teman-temanmu dahulu, engkau tidak peka, engkau tidak menyayangi perjuangan nenek moyangmu melawan kompeni". 

"Rondo, aku terlalu mencintai rokok dari pada kau. Bukannya aku bosan menciummu, menjamahmu hingga meninggalkan bau rokok di payudara bahkan kemaluanmu. Tetapi, inilah semangat nasionalismeku. Mungkin istilah itu terlalu tinggi, tetapi engkau harus paham, cintaku padamu seperti aku mencintai tanah airku" jawab suaminya tanpa ekspresi.

Mbok Rondo memang seperti perempuan gurun yang tegar melepas kekasihnya yang nanti akan kembali atau bahkan tidak sama sekali, tetapi ia juga perempuan, ia menangis. Semakin besar kasih sayangnya kepada sang suami. 

Dipeluknya dengan erat. Mereka tidak peduli lagi bagaimana bulan menyaksikan mereka, bagaimana bintang-bintang mencoba menutup mata menahan rasa malu menyaksikan kekuatan cinta sepasang sejoli itu, ia pun berbisik:

"Tetaplah merokok, aku tidak peduli berapa lama aku harus membersihkan payudaraku dari bercak kuning rokokmu, karena aku percaya bahwa setiap batang rokok yang engkau hisap adalah setiap benang yang engkau rajut melindungi cintaku, cinta tanah airmu" ujarnya.

Diseruputnya kopi yang nikmat itu, tidak ia biarkan sedikit pun tembakau melekat dalam puntung rokoknya. Ia tidak sabar mencumbui cintanya dan sesegera mungkin meninggalkan bau rokok dibukit kembar dadanya, atau mungkin juga lembah nista di antara bukit curam dilereng perut itu.*


Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *